Minggu, 07 Februari 2010

Budaya mengemis

Hampir setiap hari selama perjalanan berangkat atau pulang kerja, didalam angkutan kota saya sering didatangi anak-anak bisa perempuan bisa laki-laki, mengemis tapi berkedok sebagai pengamen, dengan usia antara lima sampai duabelas tahunan, masuk kedalam angkutan kota dan bernyanyi sesukanya tanpa pernah memperdulikan irama lagu, kadang juga mereka memasang wajah memelas agar penumpang angkutan kota menjadi iba melihatnya.

Yang menjengkelkan saya melihat orang tua mereka hanya duduk ditepi jalan sambil mengawasi anaknya mengemis, bagaimana dengan tanggung jawab mereka sebagai orang tua? Bukankah seharusnya orang tua mereka yang bekerja, saya tidak bisa memaklumi orang tua mereka melakukannya karena alasan kemiskinan, jika ingin mengemis seharusnya orang tua mereka saja yang mengemis, anak-anak cukup mengawasi orang tua mereka ditepi jalan, prasangka saya orang tua mereka sengaja
menyuruh anaknya untuk mengambil simpati para penumpang angkutan kota.

Anak-anak sudah diajarkan menjadi pengemis? Dalam teori pendidikan, bila sejak kecil anakanak ditempa kerja keras, maka dia akan tumbuh menjadi pekerja keras, bila diajari malas-malasan dia akan menjadi orang malas, maka akan jadi apa jika sejak kecil sudah diajari mengemis? Pemerintah harus bertindak bila perlu mengambil anak-anak yang menjadi pengemis tersebut dan memberi sanksi kepada orang tuanya, jika orang tuanya benar-benar tidak mampu, pemerintah bisa mengambilnya untuk di didik, supaya mental pengemis tidak menjadi-jadi dalam jiwa mereka. Sayang anakanak terlantar tidak mampu dipelihara oleh Negara, realitasnya hanya baru ada dalam
mukadimah konstitusi. Biaya hidup di negara kita memang mahal, apalagi untuk urusan sekolah untuk urusan perut saja masih harus jungkir balik bekerja mati-matian dari pagi sampai malam, tak ada pendidikan murah apalagi gratis untuk anak-anak jalanan, kenyataannya sekolah hanya untuk mereka yang mampu.

Susahnya mencari kerja membuat sebagian orang rela menjadi pengemis untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, sepertinya mereka tak peduli dengan rasa malu yang penting bisa makan hari ini. Saya lebih menghargai seorang pemulung yang mau bekerja dengan sampah hingga lelah dengan penghasilan yang tidak seberapa, ketimbang orang malas yang lebih memilih duduk dan mengemis tapi sebenarnya dia mampu bekerja sebagai pemulung.

Saya bukannya tidak peduli dengan hal seperti ini untuk sekarang memang sangat sulit membedakan antara pengemis yang asli dengan pengemis yang palsu, mengemis bukan lagi melulu dilatari cerita tentang kemalangan hidup. Lebih sering, bahkan bermula dari keputus asaan dalam mencari kerja, atau malah kemalasan yang berjodoh dengan terkikisnya rasa malu. Beberapa bulan yang lalu salah satu stasiun Televisi menayangkan dan berhasil membongkar sindikat pengemis palsu di Jakarta, dikampung halamannya para pengemis ini memiliki harta yang berkecukupan, jika kebutuhan mereka sudah terpenuhi pantaskah mereka besok kembali datang mengemis? Jangan-jangan pengemis sudah menjadi “Profesi”, ada hari libur dan jam kerja, pelatihan menjadi pengemis dan syarat kelulusan untuk menjadi pengemis.

Mungkin memang tidak semua pengemis begitu, masih banyak pengemis dengan tubuh renta, terbungkuk-bungkuk, badan sudah tidak kuat lagi bekerja, sementara sanak saudara sudah tidak bisa diandalkan, mereka terpaksa mengemis, tapi untuk sekarang ini memang sulit bagaimana kita membedakan mana pengemis yang asli, mana
pengemis yang palsu?

Iwan ( Januari 2008 )

Tidak ada komentar: